Minggu, 07 Agustus 2016

Nilai-Nilai Budaya Sedang Dimusnakan Oleh Penjajah Indonesia Dengan Penerapan Alias Wawasan Jawa Sentris Di Tanah Papua



http://pembeb.blogspot.co.id/2016/08/nilai-nilai-budaya-sedang-dimusnakan.html

Nilai-nilai budaya sebagai indentitas  Orang Asli Papua yang Orang Asli Papua sudah miliki dan selalu di hormati itu menunjukkan kepada dunia, bahwa Orang Asli Papua masih hidup dan memiliki nilai-nilai budaya yang sangat tinggi serta untuk  merebut kembali keadilan berekspresi melalui nilai-nilai budaya Orang Asli Papua yang mana sebagai bagian terpenting dalam kerja-kerja konsolidasi adat untuk membangun ideologi Orang Asli Papua di Tanah Papua untuk merebut kembali apa yang pernah di miliki oleh Orang Asli Papua dan Tanah Papua yaitu tentang Sejarah Kebenaran dan Keadilan dengan membangun gerakan melalui nilai-nilai budaya yang sudah ada dalam hidup dan kehidupan Orang Asli Papua di Tanah Papua secara turun-temurun yang mana sekarang sedang dan selalu berusaha oleh negara penjajah indonesia untuk memusnahkan nilai-nilai budaya Orang Asli Papua di Tanah Papua yang Orang Asli Papua sudah miliki. 

Saat ini tekanan Kapitalisme, Imperalisme dan Militerisme yang berkepanjangan selalu memberikan pengaruh dan dampak negatif yang sangat besar terhadap kehidupan dan perkembangan nilai-nilai budaya di tengah Orang Asli Papua di Tanah Papua.

Nilai-nilai budaya sebagai indentitas  Orang Asli Papua sedang di lumpuhkan oleh kebijakan negara penjajah indonesia yang sentralistik dengan budaya berwawasan alias jawa sentris maka  perluh dikembangkan lagi agar nilai-nilai budaya tidak hilang.

Disisi pendidikan seperti Ruben Gwijangge memberikan contoh nyata dalam bukunya Socratez Sofyan Yoman. Ada pelajaran yang di ajarkan di sekolah-sekolah dasar kelas satu sampai kelas tiga di seluruh Tanah Papua dalam membangun wawasan jawa sentris seperti: “ Ini Ibu Budi, Ini Bapak Budi, Ini Kakak Budi’ Wati Kakak Budi, Budi Pergi ke sawah, ada Jalan Yos Sudarso, Jalan Dr Sam Ratulanggi, Jalan Patimurra, Jalan Ahmat Yani, Jalan Merdeka, Jalan Tamrin, Gunung Trikora, Stadion Mandala dll. Ini semua menurut Ruben adalah palsu karena ini dilaksanakan oleh negara penjajah Indonesia dalam rangka menghancurkan, menghilangkan, memusnahkan semua yang sudah di milik oleh Orang Asli Papua.

Di lihat dari sudut pandang pola pengajaran seperti diatas ini memang sangat mengindonesiakan para pelajar di Tanah Papua karena metode mengajarnya, kurikulum, buku-buku panduan yang di terapkan di setiap sekolah yang ada di Tanah Papua tanpa memperdulikan konteks nilai-nilai budaya dan latar belakang sejarah Tanah Papua yang sudah ada di Tanah Papua dan karena ilmu-ilmu yang selalu di ajarkan di sekolah yang ada di tanah Papua sifatnya dalam konteks keindonesiaan. Melihat dari latar belakang pola pengajaran juga pada umumnya di cetak sesuai dengan format dan fotocopy yang berlaku umum di negara penjajah indonesia, yang mana tanpa melihat dan peduli terhadap nilai-nilai budaya Tanah Papua, seperti bahasa lokal, nama adat, dan nama Tanah yang harus di hormati itu tidak di terapkan di tengah-tengah kalangan pelajar yang sedang menempuh ilmu di dunia pendidikan yang ada di Tanah Papua.

Sejak dari para leluhur Tanah Papua, tete nene moyang berada di Tanah Papua hingga saat ini  tidak ada nama orang yang stilahnya budi, wati dll yang arahnya ke nama-nama yang mengindonesiakan Orang Asli Papua, sebab nama Orang Asli Papua yang ada itu namanya bersangkutan dengan nilai-nilai budaya Tanah Papua (Kekristenan) dan tidak ada pula nama sawah di Tanah Papua yang ada hanya nama kebun sagu, kebun ubi, kebun petatas, kebun buah-buahan lagipula tidak ada nama jalan yang namanya jalan Pattimura, Jalan Ahmat Yani, karena dalam menamai jalan itu orang Papua punya cara tertentu seperti  jalan cendrawasi, jalan nabire, jalan jayapura, jalan wamena, jalan sorong, jalan mambruk, jalan merauke atau nama jalannya berupa nama para pejuang Tanah Papua nah nama-nama jalan seperti inikan wajar di pakai oleh Orang Asli Papua karena nama-nama jalan tersebut letaknya di Tanah Papua bukan di tanah melayu, disisi lain seperti nama lapangan juga stadion mandala nama ini tidak wajar juga kalau lapangannya ada di Tanah Papua lebih bagusnya nama itu diganti contohnya nama lapangan menjadi stadion Cendrawasi Papua  itukan wajar sebab lapangannya terletak di Tanah Papua juga bukan di melayu sehingga pakai nama mandala dan lain-lain itu semua setelah negara penjajah indonesia masuk merampas Tanah Papua dan setelah para perampas, para klonial, para kapitalisme, para penjajah, para imperialisme, para militerisme indonesia menduduki dan menguasai tanah Papua itu baru nama-nama itu ada dengan maksud negara penjajah indonesia, mengindonesiakan Orang Asli Papua dengan harapan memusnahkan nilai-nilai budaya yang sudah dimiliki secara turun-temurun dan selalu di hormati oleh Orang Asli Papua sendiri.

Ditanah melayu (jawa) tak pernah ada nama Jalan Cendrawasi, Jalan Koteka, Jalan Moge, Jalan Mambruk, Jalan Merauke, Jalan Fak-fak, Jalan Sorong, Jalan Jayapura, Jalan Wamena, Jalan Nabire dll sejak negara penjajah indonesia bebas dari negara jajahannya yaitu Belanda hingga sampai pada dewasa ini tetapi di Tanah Papua nama-nama yang mengindonesiakan itu negara penjajah indonesia sedang berusaha menerapkan dengan cara yang halus dan licik untuk menghapus dan memusnahkan nilai-nilai budaya Orang Asli Papua yang selalu di hormati oleh Orang Asli Papua, maka itu mulai dari hari ini kedepannya di Tanah Papua harus memberi nama jalan dll dalam hal apa saja itu harus memberi namanya berangkat dari bahasa lokal, nama adat, dan nama Tanah yang sudah ada dan sudah dimiliki oleh Orang Asli Papua untuk mempertahankan nilai-nilai budaya Orang Asli Papua yang sedang dihapus oleh negara penjajah indonesia secara satu per satu yang ujung-ujung nanti memusnahkan nilai-nilai budaya Orang Asli Papua demi kekuasaan para kapitalisme, imperialisme dan militerisme indonesia diatas Tanah Papua secara utuh.

Kemudian mulai Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi di Tanah Papua tidak pernah mengajarkan nilai-nilai budaya dan sejarah masyarakat Tanah Papua kecuali bagimana provinsi tersebut di bebaskan dari Belanda. Dalam pendidikan di Tanah Papua Orang Asli Papua ditekan untuk mempelajari nilai-nilai budaya dan sejarah utama penjajah indonesia saat ini, khususnya yang berasal dari melayu (Jawa) seperti sejarah kemerdekaan indonesia, UUD 1945, lagu indonesia raya yang di nyanyikan di kelas dan murid-murid yang melakukan upacara di bawah bendera negara klonial, dan dalam itu kesetiaan terhadap 5 butir dasar negara, Pancasila terus para pahlawan Nasional negara penjajah indonesia seperti Imam Bonjol, Hassanuddin, Pattimura, sejarah perjuangan negara penjajah indonesia dalam mengusir Belanda dan lain-lain padahal ini tidak perluh di ajarkan di sekolah-sekolah yang ada di Tanah Papua sebab Orang Asli Papua punya sejarah dan nilai-nilai budaya bukan mengenai hal-hal di atas ini tetapi Orang Asli Papua punya nilai-nilai budaya dan sejarah tersendiri yang jauh beda dengan negara penjajah indonesia (melayu).

Sejarah dan nilai-nilai budaya negara penjajah indonesia ini kalau di ajarkan serta diterapkan terus-menerus di sekolah-sekolah yang ada di Tanah Papua maka jelas pelajar dan mahasiswa/I Papua dipastikan akan  lupah dengan sejarah dan nilai-nilai budaya Tanah Papua yang sebetulnya, sejarah dan nilai-nilai budaya aslinya yang sudah ada, yang sudah Orang Asli Papua miliki secara turun-temurun dari para leluhur serta yang selalu di hormati dalam hidup dan kehidupan Orang Asli Papua dari masa ke masa di Tanah Papua, maka kedepannya diperkirakan sejarah dan nilai-nilai budaya Tanah Papua akan punah karena selama ini tidak pernah di ajarkan di sekolah-sekolah yang ada di Tanah Papua seperti pada saat ini ada kalangan-kalangan tertentu yang karena wawasan mereka sudah di mengindonesiakan oleh orang-orang dari negara penjajah indonesia dengan wawasan jawa sentris melalui penerapan sejarah dan nilai-nilai budaya jawa di Tanah Papua dalam dunia pendidikan sehingga terkadang kebanyakan yang berpikir sejarah dan nilai-nilai budaya Tanah Papua tak ada dan sejarah dan nilai-nilai budaya  yang ada adalah sejarah dan nilai-nilai budaya indonesia padahal sejarah dan nilai-nilai budaya  Tanah Papua yang selalu di hormati itu ada sejak dulu hingga sampai pada saat ini. Akhirnya kebanyakan orang yang menyangkal dengan sejarah dan nilai-nilai budaya yang para leluhur Tanah Papua sudah turunkan untuk dimiliki dan dihormat oleh generasi penerus Bangsa Papua.

Dalam menempuh ilmu di Tanah Papua seharusnya dalam mendidik generasi muda Tanah Papua dalam belajar mulai dari sekolah-sekolah dasar hingga perguruan tinggi yang wajib diajarkan dan perluh jadikan salah satu mata pelajaran/ mata kuliah itu tentang nilai-nilai budaya dan sejarah Tanah Papua, Sejarah 1 Desember 1996, proses PEPERA 1969, Sejarah Perjuangan Tanah Papua serta pembunuhan oleh TNI/Polri Indonesia terhadap para pejuang  Tanah Papua demi perjuangan Tanah Papua menuju Penentuan Nasib Sendiri seperti They Hilo Eluay, Arnol Clemens Ap dalam group mambesak Mako Tabuni, Umeki Kelly Kwalik yang sudah mendahului dari seluruh Oang Asli Papua, lagu kebangsaan Tanah Papua.

Diatas ini sangat penting sehingga perluh di ajarkan dan diterapkan di sekolah-sekolah yang ada di Tanah Papua jangan sampai kita luput dari sejarah dan nilai-nilai budaya kita sebagai Orang Asli Papua karena dalam sejarah Tanah Papua, sejarah perjuang Orang Asli Papua diatas ini kita akan temukan nilai-nilai budaya kita sebagai identitas Orang Asli Papua yang sebetulnya, yang sudah ada, selalu ada dan yang nantinya akan ada terus.

Di sisi lain dalam bidang bahasa saat berkomunikasi yang sempat singgung oleh salah satu aktivis Papua Edmon Douw di facebook melalui status  disana dia menulis bahwa kebanyakan anak-anak muda yang biasa takut salah dalam memakai kata-kata bahasa indonesia dalam ucapan, berbicara, berdiskusi, berpidato di depan forum dan dalam membangun hubungan komunikasi lewat media cetak maupun media elektronik dengan teman-teman dan dalam berbicara kalau temannya salah dalam ucapan kata terkadang teman yang mendengarnya itu dia jadikan bahan diskusi atau cerita bersama teman-teman yang lainnya  tentang  ucapan kata yang salah tadinya itu dan disana temannya katakan teman ini bahasa indonesianya masih kaki kepala sehingga teman yang berbicara itu setelah mendengarnya tertimbul dalam benaknya rasa takut dan malu untuk berbicara bersama teman yang sama di lain waktu tetapi kata, Edmon Douw “bagi saya itu wajar apabila saya salah dalam ucapan kata, berbicara, berdiskusi, berpidato dan dalam membangun hubungan komunikasi lewat media cetak maupun media elektronik melalui bahasa indonesia karena bahasa indonesia adalah bukan bahasa Mama saya yaitu Mama Papua, bukan bahasa lokal,bukan bahasa saya yang sudah turun-temurun dari generasi ke generasi di Tanah Papua yang mana sebagai nilai-nilai budaya  Orang Asli Papua oleh sebab itu bahasa indonesia adalah bahasa melayu (jawa) dorang pu bahasa jadi tidak perluh maka wajar saja untuk saya salah karena saya punya bahasa sendiri di Tanah Papua sebagai identitas Orang Asli Papua itu ada”.


Selamatkan Nilai-nilai budaya sebagai identitas Orang Asli Papua


Tidak ada komentar:

Posting Komentar